Selasa, 06 April 2021

ANALISIS JURNAL PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR BARANG KENA PAJAK

ANALISIS JURNAL PAJAK

PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR BARANG KENA PAJAK (Studi Kasus PT Astra Honda Motor yang Melakukan Impor Kendaraan Toyota Dari Jepang)

DARI SUDUT PANDANG SOSIOLOGIS

[sumber]Pajak merupakan kontribusi wajib masyarakat terhadap negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa sesuai undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan diperuntukan negara guna memperoleh kemakmuran bagi masyarakat itu sendiri. Hematnya pajak adalah iuran yang  diwajibkan oleh negara kepada rakyat dalam rangka meningkatkan pembangunan. Pajak merupakan hal yang tidak dapat lepas dari manusia, bukti kecilnya dapat kita lihat ketika seorang konsumen ingin membeli suatu barang maka ia harus membayar pajak (PPn). Pajak yang harus dibayar tersebut adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, PPN sebagai penyumbang penerimaan pajak dikenakan hanya terhadap pertambahan nilai saja dan dipungut beberapa kali pada mata rantai jalur perusahaan. Hal ini timbul karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang kepada para konsumen.

Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak objektif tidak membedakan tingkat kemampuan konsumennya. Baik konsumen dengan kemampuan tinggi maupun konsumen dengan kemampuan rendah diperlakukan sama. Oleh karenanya, PPN memuat sifat regresif, yaitu semakin tinggi kemampuan konsumen maka akan semakin ringan beban pajak yang dipikul, semakin rendah kemampuan konsumen maka akan semakin berat beban pajak yang ditanggung. Sehingga dalam mencapai keseimbangan pembebanan pajak dan dalam upaya mengendalikan pola konsumtif yang tidak produktif di masyarakat, pemerintah mengatur khusus tentang impor barang-barang yang tergolong mewah dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Sebagaimana yang terdapat pada Pasal 5 UU No. 18 Tahun 2000 yang menegaskan bahwa selain dikenai PPN, barang mewah juga akan dikenai PPnBM dalam rangka mencapai keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen dengan kemampuan/penghasilan tinggi dan rendah.

Seiring dengan perkembangan zaman, perusahaan multi nasional memanfaatkan transfer pricing sebagai alat untuk menghindari atau menggelapkan pajak tak terkecuali PPN, hal ini juga dilakukan oleh perusahaan besar seperti Toyota Manufacturing. Pada tahun 2007 Toyota diduga “memainkan” harga penjualan dengan pihak terafiliasi dan menambah beban biaya melalui rolayti secara tidak wajar. Ribuan mobil produksi Toyota Motor Manufacturing Indonesia diekspor keluar negeri dengan nilai ekspor di bawah biaya penjualan. Transaksi yang dilakukan antara perusahaan yang mempunyai hubungan keterkaitan dalam kasus ini memakai harga tidak wajar, bahkan tidak sama dengan transaksi antar pihak yang independen.

Baca juga:
Analisis dari aspek Ekonomi
Analisis dari aspek Yuridis
Analisis dari aspek Hukum Islam

Melalui transfer pricing, upaya meminimalkan beban pajak dilakukan dengan cara mengalihkan penghasilan serta biaya suatu perusahaan yang mempunyai hubungan dalam praktik transfer pricing tersebut dari suatu negara kepada perusahaan di negara lain yang tarif pajaknya tidak sama. Untuk mencegah terjadinya praktik tersebut maka pemerintah mengadakan Advance Pricing Agreement (APA) melalui PER-32/PJ/2011 untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan tansfer pricing oleh perusahaan multinasional.

Menurut penulis, adanya praktik penyalahgunaan transfer pricing dapat menyebabkan kerugian serius pada negara. Secara tidak langsung, hal ini akan berdampak pada kondisi sosiologis perusahaan lainnya dengan “latah” mengikuti metode buruk dari transfer pricing untuk mendapatkan keuntungan dan menghindari pajak. Apabila praktik ini berjalan terus maka menyebabkan berkurangnya pendapatan negara dari sisi penerimaan pajak. Bahkan, sebuah artikel pada 2013 menyatakan potensi jumlah penerimaan pajak yang hilang akibat penyalahgunaan transfer pricing mencapai Rp 1.300 triliun/tahun. Oleh karena itu, APA harus berjalan sebagaimana mestinya yang dalam pelaksanaannya masing-masing pihak yaitu Wajib Pajak dan Ditjen Pajak harus melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. Adapun tanggung jawab Wajib Pajak dalam pelaksanaan APA adalah konsisten dengan tujuan awal diselenggarakannya APA, memberikan bukti-bukti dan informasi yang dapat dipercaya, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam perjanjian APA. 

Oleh: Rizky Arisna Rahmadtria (1902056074) IH-B4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

24 Kantor Pelayanan Pajak Ditutup Permanen per 24 Mei

[sumber] Rizky Arisna Rahmadtria/IH-B4/1902056074 Analisis Berita "24 Kantor Pelayanan Pajak Ditutup Permanen per 24 Mei" Kantor...

Popular Posts