ANALISIS JURNAL PAJAK
PENGENAAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR BARANG KENA PAJAK (Studi Kasus PT Astra
Honda Motor yang Melakukan Impor Kendaraan Toyota Dari Jepang)
DARI SUDUT PANDANG SOSIOLOGIS
[sumber]Pajak merupakan kontribusi wajib masyarakat terhadap negara
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa sesuai
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
diperuntukan negara guna memperoleh kemakmuran bagi masyarakat itu sendiri. Hematnya
pajak adalah iuran yang diwajibkan oleh
negara kepada rakyat dalam rangka meningkatkan pembangunan. Pajak merupakan hal
yang tidak dapat lepas dari manusia, bukti kecilnya dapat kita lihat ketika
seorang konsumen ingin membeli suatu barang maka ia harus membayar pajak (PPn).
Pajak yang harus dibayar tersebut adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun,
PPN sebagai penyumbang penerimaan pajak dikenakan hanya terhadap pertambahan nilai
saja dan dipungut beberapa kali pada mata rantai jalur perusahaan. Hal ini
timbul karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan
dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang kepada
para konsumen.
Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak objektif tidak
membedakan tingkat kemampuan konsumennya. Baik konsumen dengan kemampuan tinggi
maupun konsumen dengan kemampuan rendah diperlakukan sama. Oleh karenanya, PPN
memuat sifat regresif, yaitu semakin tinggi kemampuan konsumen maka akan
semakin ringan beban pajak yang dipikul, semakin rendah kemampuan konsumen maka
akan semakin berat beban pajak yang ditanggung. Sehingga dalam mencapai
keseimbangan pembebanan pajak dan dalam upaya mengendalikan pola konsumtif yang
tidak produktif di masyarakat, pemerintah mengatur khusus tentang impor
barang-barang yang tergolong mewah dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPnBM). Sebagaimana yang terdapat pada Pasal 5 UU No. 18 Tahun 2000 yang
menegaskan bahwa selain dikenai PPN, barang mewah juga akan dikenai PPnBM dalam
rangka mencapai keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen dengan
kemampuan/penghasilan tinggi dan rendah.
Seiring dengan perkembangan zaman, perusahaan multi
nasional memanfaatkan transfer pricing
sebagai alat untuk menghindari atau menggelapkan pajak tak terkecuali PPN, hal ini juga
dilakukan oleh perusahaan besar seperti Toyota Manufacturing. Pada tahun 2007 Toyota
diduga “memainkan” harga penjualan dengan pihak terafiliasi dan menambah beban
biaya melalui rolayti secara tidak wajar. Ribuan mobil produksi Toyota Motor
Manufacturing Indonesia diekspor keluar negeri dengan nilai ekspor di bawah
biaya penjualan. Transaksi yang dilakukan antara perusahaan yang mempunyai
hubungan keterkaitan dalam kasus ini memakai harga tidak wajar, bahkan tidak
sama dengan transaksi antar pihak yang independen.
Baca juga:
Analisis dari aspek Ekonomi
Analisis dari aspek Yuridis
Analisis dari aspek Hukum Islam
Melalui transfer
pricing, upaya meminimalkan beban pajak dilakukan dengan cara mengalihkan
penghasilan serta biaya suatu perusahaan yang mempunyai hubungan dalam praktik transfer pricing tersebut dari suatu
negara kepada perusahaan di negara lain yang tarif pajaknya tidak sama. Untuk
mencegah terjadinya praktik tersebut maka pemerintah mengadakan Advance Pricing Agreement (APA) melalui
PER-32/PJ/2011 untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan tansfer pricing oleh perusahaan
multinasional.
Menurut penulis, adanya praktik penyalahgunaan transfer pricing dapat menyebabkan kerugian serius pada negara. Secara tidak langsung, hal ini akan berdampak pada kondisi sosiologis perusahaan lainnya dengan “latah” mengikuti metode buruk dari transfer pricing untuk mendapatkan keuntungan dan menghindari pajak. Apabila praktik ini berjalan terus maka menyebabkan berkurangnya pendapatan negara dari sisi penerimaan pajak. Bahkan, sebuah artikel pada 2013 menyatakan potensi jumlah penerimaan pajak yang hilang akibat penyalahgunaan transfer pricing mencapai Rp 1.300 triliun/tahun. Oleh karena itu, APA harus berjalan sebagaimana mestinya yang dalam pelaksanaannya masing-masing pihak yaitu Wajib Pajak dan Ditjen Pajak harus melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. Adapun tanggung jawab Wajib Pajak dalam pelaksanaan APA adalah konsisten dengan tujuan awal diselenggarakannya APA, memberikan bukti-bukti dan informasi yang dapat dipercaya, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam perjanjian APA.
Oleh: Rizky Arisna Rahmadtria (1902056074) IH-B4