Rizky Arisna Rahmadtria/IH-B4/1902056074
Analisis Berita "24 Kantor Pelayanan Pajak Ditutup
Permanen per 24 Mei"
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) ditutup
permanen? Apakah gegara Corona? Ada apa gerangan? Terdapat 24 Kantor Pelayanan Pajak
ditutup permanen oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sejak 24 Mei 2021 lalu. Sebelumnya, sejumlah Kantor
Pelayanan Pajak di berbagai daerah terpaksa menutup pelayanannya sementara akibat
melejitnya kasus positif Corona di Indonesia, namun penutupan Kantor Pelayanan
Pajak kali ini bukanlah diakibatkan oleh Corona. Ternyata 24 KPP tersebut
ditutup permanen karena merupakan bagian
dari reorganisasi instansi vertikal Ditjen Pajak (DJP). Dengan begitu, operasinya
akan dipindahkan ke KPP yang masih beroperasi sesuai wilayah administrasi
tempat wajib pajak terdaftar.
Tidak hanya menutup permanen 24 Kantor
Pelayanan Pajak, Ditjen Pajak (DJP) juga menambah 18 KPP Madya, sehingga wajib
pajak yang terdaftar pada beberapa KPP Madya akan dipindahkan ke KPP Madya yang
baru. Selain itu, terdapat 8 KPP yang mengalami perubahan nomenklatur dalam
reorganisasi instansi vertikal Ditjen Pajak (DJP) ini. Kebijakan ini tidak
membuat wajib pajak harus pindah ke kantor pelayanan lain, sebab hanya berupa
perubahan nama/nomenklatur KPP terdaftar saja.
Baca juga: Analisis Berita “Pajak Orang Super Kaya Bakal Naik, Simak Rincian Tarif PPh Yang Berlaku Saat Ini
Bagaimana
hal ini jika dilihat dari sisi hukum? Melalui
PMK Nomor 184/PMK.01/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 210/PMK.01/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal
Direktorat Jenderal Pajak, pemerintah menata ulang organisasi instansi vertikal
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengoptimalkan penerimaan pajak melalui
penyelenggaraan administrasi yang lebih baik dan organisasi yang andal. Melalui
kebijakan ini, tidak hanya menutup 24 KPP dan menambah 18 KKP Madya, namun juga
terkait perubahan struktur organisasi Kantor Pelayanan Pajak pada fungsi
pelayanan, pengawasan, pemeriksaan, penilaian serta penagihan.
PMK ini sejalan dengan ketentuan Pasal
55 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan
yang membahas mengenai Instansi Vertikal dan juga untuk mengoptimalkan
penerimaan pajak melalui penyelenggaraan administrasi perpajakan yang efisien,
efektif, berintegritas, dan berkeadilan, serta untuk mewujudkan organisasi yang
andal. Secara umum, reorganisasi ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan
agar sesuai dengan best-practices dan
mampu mengantisipasi dinamika sosial-ekonomi dalam jangka menengah-panjang.
Baca juga: Gali Potensi Pajak, Sri Mulyani: DJP Olah Ratusan Jenis Data
Namun untuk apa sebenarnya kebijakan
ini? Menurut Ditjen Pajak (DJP), reorganisasi ini mempertajam fungsi KPP
Pratama yang diarahkan untuk fokus pada pada penguasaan wilayah yang meliputi,
penguasaan informasi dengan cara produksi data, mengawasi kepatuhan formal dan
material wajib pajak dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan SPT
Tahunan. Reorganisasi menjadi salah satu strategi yang dijalankan oleh DJP
untuk meningkatkan kapasitas organisasi sehingga birokrasi dan pelayanan publik
dapat berjalan dengan efektif dan efisien.
Baca juga: Transaksi Kripto Bakal Dikenai Pajak? Begini Analisisnya
Melalui kacamata sosial-ekonomi, KPP
Madya bersama dengan KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Khusus akan fokus pada
pengawasan terhadap wajib pajak strategis penentu penerimaan, sehingga
diharapkan dapat mengamankan 80% hingga 85% dari total target penerimaan pajak
secara nasional. Kesemuanya ini tidak lepas dari komitmen DJP untuk senantiasa
meningkatkan kualitas pelayanan kepada wajib pajak. Apalagi di tengah tantangan
untuk mengumpulkan penerimaan pajak sebesar Rp1.229,58 triliun, jumlah ini naik
2,57% dibandingkan target penerimaan pajak tahun 2020. Bila dibandingkan dengan
realisasi penerimaan pajak tahun 2020 yang sebesar Rp1.072,02 triliun, maka
penerimaan pajak tahun 2021 perlu tumbuh 14,69% (yoy) untuk mencapai target
tersebut.
Baca juga: Transaksi Kripto Bakal Kena Pajak, Kapan Aturan Keluar?