Sabtu, 05 Juni 2021

24 Kantor Pelayanan Pajak Ditutup Permanen per 24 Mei

[sumber]

Rizky Arisna Rahmadtria/IH-B4/1902056074

Analisis Berita "24 Kantor Pelayanan Pajak Ditutup Permanen per 24 Mei"

Kantor Pelayanan Pajak (KPP) ditutup permanen? Apakah gegara Corona? Ada apa gerangan? Terdapat 24 Kantor Pelayanan Pajak ditutup permanen oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sejak 24 Mei 2021 lalu. Sebelumnya, sejumlah Kantor Pelayanan Pajak di berbagai daerah terpaksa menutup pelayanannya sementara akibat melejitnya kasus positif Corona di Indonesia, namun penutupan Kantor Pelayanan Pajak kali ini bukanlah diakibatkan oleh Corona. Ternyata 24 KPP tersebut ditutup permanen  karena merupakan bagian dari reorganisasi instansi vertikal Ditjen Pajak (DJP). Dengan begitu, operasinya akan dipindahkan ke KPP yang masih beroperasi sesuai wilayah administrasi tempat wajib pajak terdaftar.

Tidak hanya menutup permanen 24 Kantor Pelayanan Pajak, Ditjen Pajak (DJP) juga menambah 18 KPP Madya, sehingga wajib pajak yang terdaftar pada beberapa KPP Madya akan dipindahkan ke KPP Madya yang baru. Selain itu, terdapat 8 KPP yang mengalami perubahan nomenklatur dalam reorganisasi instansi vertikal Ditjen Pajak (DJP) ini. Kebijakan ini tidak membuat wajib pajak harus pindah ke kantor pelayanan lain, sebab hanya berupa perubahan nama/nomenklatur KPP terdaftar saja.

Baca juga: Analisis Berita “Pajak Orang Super Kaya Bakal Naik, Simak Rincian Tarif PPh Yang Berlaku Saat Ini

Bagaimana hal ini jika dilihat dari sisi hukum?  Melalui PMK Nomor 184/PMK.01/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.01/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Pajak, pemerintah menata ulang organisasi instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengoptimalkan penerimaan pajak melalui penyelenggaraan administrasi yang lebih baik dan organisasi yang andal. Melalui kebijakan ini, tidak hanya menutup 24 KPP dan menambah 18 KKP Madya, namun juga terkait perubahan struktur organisasi Kantor Pelayanan Pajak pada fungsi pelayanan, pengawasan, pemeriksaan, penilaian serta penagihan.  

PMK ini sejalan dengan ketentuan Pasal 55 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2015 tentang Kementerian Keuangan yang membahas mengenai Instansi Vertikal dan juga untuk mengoptimalkan penerimaan pajak melalui penyelenggaraan administrasi perpajakan yang efisien, efektif, berintegritas, dan berkeadilan, serta untuk mewujudkan organisasi yang andal. Secara umum, reorganisasi ini merupakan bagian dari reformasi perpajakan agar sesuai dengan best-practices dan mampu mengantisipasi dinamika sosial-ekonomi dalam jangka menengah-panjang. 

Baca juga: Gali Potensi Pajak, Sri Mulyani: DJP Olah Ratusan Jenis Data

Namun untuk apa sebenarnya kebijakan ini? Menurut Ditjen Pajak (DJP), reorganisasi ini mempertajam fungsi KPP Pratama yang diarahkan untuk fokus pada pada penguasaan wilayah yang meliputi, penguasaan informasi dengan cara produksi data, mengawasi kepatuhan formal dan material wajib pajak dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan SPT Tahunan. Reorganisasi menjadi salah satu strategi yang dijalankan oleh DJP untuk meningkatkan kapasitas organisasi sehingga birokrasi dan pelayanan publik dapat berjalan dengan efektif dan efisien.

Baca juga: Transaksi Kripto Bakal Dikenai Pajak? Begini Analisisnya

Melalui kacamata sosial-ekonomi, KPP Madya bersama dengan KPP Wajib Pajak Besar dan KPP Khusus akan fokus pada pengawasan terhadap wajib pajak strategis penentu penerimaan, sehingga diharapkan dapat mengamankan 80% hingga 85% dari total target penerimaan pajak secara nasional. Kesemuanya ini tidak lepas dari komitmen DJP untuk senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan kepada wajib pajak. Apalagi di tengah tantangan untuk mengumpulkan penerimaan pajak sebesar Rp1.229,58 triliun, jumlah ini naik 2,57% dibandingkan target penerimaan pajak tahun 2020. Bila dibandingkan dengan realisasi penerimaan pajak tahun 2020 yang sebesar Rp1.072,02 triliun, maka penerimaan pajak tahun 2021 perlu tumbuh 14,69% (yoy) untuk mencapai target tersebut.

Baca juga: Transaksi Kripto Bakal Kena Pajak, Kapan Aturan Keluar?

Penataan ini sekaligus untuk mendukung pencapaian tujuan pada Rencana Strategis Kementerian Keuangan 2020—2024, yaitu penerimaan negara yang optimal. Untuk itu, DJP menjadikan perluasan basis pajak sebagai isu sentral dalam strategi pengamanan penerimaan pajak. 
   

  

 

 

 


Selasa, 06 April 2021

ANALISIS JURNAL PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR BARANG KENA PAJAK

ANALISIS JURNAL PAJAK

PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS EKSPOR/ IMPOR BARANG KENA PAJAK (Studi Kasus PT Astra Honda Motor yang Melakukan Impor Kendaraan Toyota Dari Jepang)

DARI SUDUT PANDANG SOSIOLOGIS

[sumber]Pajak merupakan kontribusi wajib masyarakat terhadap negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa sesuai undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan diperuntukan negara guna memperoleh kemakmuran bagi masyarakat itu sendiri. Hematnya pajak adalah iuran yang  diwajibkan oleh negara kepada rakyat dalam rangka meningkatkan pembangunan. Pajak merupakan hal yang tidak dapat lepas dari manusia, bukti kecilnya dapat kita lihat ketika seorang konsumen ingin membeli suatu barang maka ia harus membayar pajak (PPn). Pajak yang harus dibayar tersebut adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, PPN sebagai penyumbang penerimaan pajak dikenakan hanya terhadap pertambahan nilai saja dan dipungut beberapa kali pada mata rantai jalur perusahaan. Hal ini timbul karena digunakannya faktor-faktor produksi pada setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan dan memperdagangkan barang kepada para konsumen.

Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak objektif tidak membedakan tingkat kemampuan konsumennya. Baik konsumen dengan kemampuan tinggi maupun konsumen dengan kemampuan rendah diperlakukan sama. Oleh karenanya, PPN memuat sifat regresif, yaitu semakin tinggi kemampuan konsumen maka akan semakin ringan beban pajak yang dipikul, semakin rendah kemampuan konsumen maka akan semakin berat beban pajak yang ditanggung. Sehingga dalam mencapai keseimbangan pembebanan pajak dan dalam upaya mengendalikan pola konsumtif yang tidak produktif di masyarakat, pemerintah mengatur khusus tentang impor barang-barang yang tergolong mewah dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Sebagaimana yang terdapat pada Pasal 5 UU No. 18 Tahun 2000 yang menegaskan bahwa selain dikenai PPN, barang mewah juga akan dikenai PPnBM dalam rangka mencapai keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen dengan kemampuan/penghasilan tinggi dan rendah.

Seiring dengan perkembangan zaman, perusahaan multi nasional memanfaatkan transfer pricing sebagai alat untuk menghindari atau menggelapkan pajak tak terkecuali PPN, hal ini juga dilakukan oleh perusahaan besar seperti Toyota Manufacturing. Pada tahun 2007 Toyota diduga “memainkan” harga penjualan dengan pihak terafiliasi dan menambah beban biaya melalui rolayti secara tidak wajar. Ribuan mobil produksi Toyota Motor Manufacturing Indonesia diekspor keluar negeri dengan nilai ekspor di bawah biaya penjualan. Transaksi yang dilakukan antara perusahaan yang mempunyai hubungan keterkaitan dalam kasus ini memakai harga tidak wajar, bahkan tidak sama dengan transaksi antar pihak yang independen.

Baca juga:
Analisis dari aspek Ekonomi
Analisis dari aspek Yuridis
Analisis dari aspek Hukum Islam

Melalui transfer pricing, upaya meminimalkan beban pajak dilakukan dengan cara mengalihkan penghasilan serta biaya suatu perusahaan yang mempunyai hubungan dalam praktik transfer pricing tersebut dari suatu negara kepada perusahaan di negara lain yang tarif pajaknya tidak sama. Untuk mencegah terjadinya praktik tersebut maka pemerintah mengadakan Advance Pricing Agreement (APA) melalui PER-32/PJ/2011 untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan tansfer pricing oleh perusahaan multinasional.

Menurut penulis, adanya praktik penyalahgunaan transfer pricing dapat menyebabkan kerugian serius pada negara. Secara tidak langsung, hal ini akan berdampak pada kondisi sosiologis perusahaan lainnya dengan “latah” mengikuti metode buruk dari transfer pricing untuk mendapatkan keuntungan dan menghindari pajak. Apabila praktik ini berjalan terus maka menyebabkan berkurangnya pendapatan negara dari sisi penerimaan pajak. Bahkan, sebuah artikel pada 2013 menyatakan potensi jumlah penerimaan pajak yang hilang akibat penyalahgunaan transfer pricing mencapai Rp 1.300 triliun/tahun. Oleh karena itu, APA harus berjalan sebagaimana mestinya yang dalam pelaksanaannya masing-masing pihak yaitu Wajib Pajak dan Ditjen Pajak harus melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik. Adapun tanggung jawab Wajib Pajak dalam pelaksanaan APA adalah konsisten dengan tujuan awal diselenggarakannya APA, memberikan bukti-bukti dan informasi yang dapat dipercaya, dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam perjanjian APA. 

Oleh: Rizky Arisna Rahmadtria (1902056074) IH-B4

24 Kantor Pelayanan Pajak Ditutup Permanen per 24 Mei

[sumber] Rizky Arisna Rahmadtria/IH-B4/1902056074 Analisis Berita "24 Kantor Pelayanan Pajak Ditutup Permanen per 24 Mei" Kantor...

Popular Posts